Dua bulan sebelum keberangkatan, saya bingung. Saya betul-betul bingung. Saya tidak bisa bahasa Perancis, namun saya juga tidak punya waktu untuk les bahasa Perancis karena sekolah saya menuntut hampir seluruh dari waktu saya untuk belajar dan belajar, saya sudah bilang saya bukan murid jenius. Saya belum siap untuk pergi. Saya tidak tahu kenapa saya harus pergi. Saya bahkan tidak tahu apakah saya sepenuhnya ingin pergi. Saya bingung. Sebenarnya, saya sendiri tidak tahu pasti apa yang saya bingungkan atau mengapa saya harus memusingkan semua ini. Bukankah semua yang saya dapatkan saat itu adalah sesuatu yang sangat indah, dan sudah saya inginkan sejak pertama ikut seleksi?
Kebingungan saya semakin memuncak di akhir kelas 2 SMA saya, saat surat cuti saya sudah didaftarkan pada pihak sekolah, saat saya sudah harus bolak-balik kantor AFS di Kebayoran untuk mengurus dokumen. Kepergian saya sudah hampir pasti, namun saya masih bingung dan resah.
Masa-masa orientasi sebelum kepergian pun dimulai. Saya, Adilla, Riri, Ajay, Nana, dan Hilfi, kami semua akan pergi melalui program AFS, kami dikumpulkan untuk membuat sebuah talent show untuk melepas murid asing yang akan pergi dari Indonesia, sekaligus sebagai debut kami dalam keluarga AFS. Pertunjukan kami berlangsung sukses, dan saya senang karena saya bisa mengenal dekat anak-anak yang tadinya saya tidak kenal dan saya tidak berani untuk dekati. Tenyata mereka tidak semenakutkan yang dulu saya pikir, harusnya saya dulu percaya diri saja untuk berkenalan dan bermain bersama mereka. Mereka semua sama seperti saya, mengapa harus malu? Saat pertunjukan kami usai, saya ingat, ada video yang diputar mengenai murid-murid yang akan pulang tersebut dan tahun yang mereka sudah jalani. Saya terharu, dan hampir menangis. Seorang dari kami berkata, “Gue jadi pengen cepet pergi nih.” Seorang lagi bertanya, “ Taun depan kita bakal kayak gini juga ngga ya?” Saya senang, penasaran, namun tidak tahu harus berkata apa, karena saya masih tenggelam dengan kebingungan dan keresahan saya. Bahkan saat orientasi nasional di akhir Juli 2008, saya masih bertanya-tanya tentang kepergian saya. Saya akui, saya memang menjadi lebih siap dan bersemangat untuk pergi, dan pembekalan serta pembelajaran yang diberikan saat itu sangat berguna bagi saya. Namun entah mengapa, masih tersisa keraguan di dalam benak saya yang belum teratasi.
Saya bertanya pada kakak-kakak yang pernah pergi, pada Dila, pada Elsa, dan pada Kak Elfi. Apakah yang akan saya alami akan sebanding dengan apa yang saya tinggalkan di Jakarta? Apa yang akan saya alami nantinya disana? Apakah saya bisa bahagia nantinya? Apa yang sebenarnya saya cari di Perancis? Apakah setahun di luar negeri itu sangat berharga sampai-sampai saya harus meninggalkan keluarga saya, zona nyaman saya, teman-teman saya, hingga pacar saya? Yang terakhir itu memang agak konyol, tapi saya kan hanya seorang remaja tujuh belas tahun, yang emosinya sangat labil dan terlalu membawa serius masalah percintaan, mungkin saya terlalu banyak membaca novel remaja atau menonton film drama korea.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire